said hudri hasibuan

Rabu, 25 Januari 2012

MANAJEMEN MODAL KERJA


MANAJEMEN MODAL KERJA


A.    PENDAHULUAN
Bagian makalah ditujukan untuk membahas masalah manajer modal kerja.Modal kerja ini berhubungan dengan current account (perkiraan aktiva lancar dan utang lancar)
perusahaan. Efisiensi dalam manajemen modal kerja sangat diperlukan untuk menjamin kelangsungan atau keberhasilan jangka panjang dan untuk mencapai tujuan perusahaan secara keseluruhan yang dalam hal ini memperbesar kekayaan bagi para pemilik.
Apabila manajer keuangan tidak dapat mengelola modal kerja perusahaan secara efisien. maka tidak akan ada gunanya untuk mempertimbangkan keberhasilan dalam jangka panjang. Karena keberhasilan jangka pendek adalah merupakan prasyarat untuk tercapainya keberhasilan jangka panjang.
Bagian ini terdiri dari beberapa pandangan secara menyeluruh tentang manajemen modal kerja dan menunjukkan beberapa strategi serta pertimbangan yang penting bagi manajer.
B.     PEMBAHASAN
Manajemen modal kerja berkenaan dengan management current account perusahaan (aktiva lancar dan utang lancar). Manajemen modal kerja ini merupakan salah-satu aspek terpenting dan keseluruhan manajemen perbelanjaan perusahaan. Apabila perusahaan tidak dapat mempertahankan tingkat modal kerja yang memuaskan, maka kemungkinan sekali perusahaan akan berada dalam keadaan insolvent (tidak mampu membayar kewajiban-kewajiban yang sudah jatuh tempo) dan bahkan mungkin terpaksa harus dilikuidir (bangkrut). Aktiva lancar harus cukup besar untuk dapat menutup utang lancar sedemikian rupa. sehingga menggambarkan adanya tingkat keamanan (margin of safety) yang memuaskan.
Tujuan dan manajemen modal kerja adalah untuk mengelola masing-masing pos aktiva lancar dan utang lancar sedemikian rupa, sehingga jumlah net working capital (aktiva lancar dikurangi dengan utang lancar) yang diinginkan tetap dapat dipertahankan. Pos-pos utama dalam aktiva lancar yang akan dibicarakan di sini adalah kas, surat-surat berharga jangka pendek, piutang dan persediaan. Masing-masing pos tersebut hams dikelola secara baik dan efisien untuk dapat mempertahankan likuiditas perusahaan dan pada saat yang sama jumlah dan masing-masing pos tersebut juga tidak terlalu besar.
Pos-pos utama dalam utang lancar terdiri dan utang dagang, notes payable (utang surat-surat berharga) dan accruals (biaya-biaya yang masih harus dibayar). Masing-masing pos utang lancar harus dimanage dengan baik dan hati-hati, untuk menjamin bahwa sumber-sumber modal jangka pendek tersebut diperoleh dan dipergunakan dengan cara yang sebaik mungkin.
Masing-masing pos dalam aktiva lancar dan utang lancar tidak akan dibicarakan secara tersendiri di dalam makalah ini, tetapi tekanannya akan diberikan pada hubungan fundamental antara aktiva lancar dengan utang lancar.
Net Working Capital
Net working capital atau modal kerja bersih perusahaan seringkali didefinisikan sebagai selisih antara aktiva lancar dengan utang lancar. Selama aktiva lancar melebihi jumlah utang lancar, maka berarti perusahaan memiliki net working capital tertentu, di mana jumlah ini sangat ditentukan oleh jenis usaha dan masing-masing perusahaan. Perusahaan-perusahaan yang arus kasnya dapat diprediksi dengan akurat dapat bekerja dengan net working capital yang kecil. Sekalipun demikian biasanya perusahaan-perusahaan menetapkan suatu jumlah minimal dan net working capital yang dimilikinya.
Penggunaan net working capital (dan ratio-ratio likuiditas yang lain) untuk mengukur tingkat likuiditas perusahaan “digarisbawahi” oleh adanya suatu keyakinan bahwa semakin besar kelebihan (margin) aktiva lancar di atas utang lancar, maka akan semakin besar pula kemampuan perusahaan untuk membayar semua kewajiban-kewajiban pada saat jatuh tempo. Pandangan tersebut di atas didasarkan pada suatu keyakinan, bahwa aktiva lancar adalah merupakan sumber-sumber penerimaan kas sedangkan utang-utang lancar adalah sumber-sumber pengeluaran kas. Akan tetapi bila ditinjau secara lebih mendalam tentang keadaan dan masing-masing pos, baik dalam aktiva lancar maupun utang lancar akan ternyata bahwa… (dan ini merupakan masalah) masing-masing pos tersebut mempunyai tingkat likuiditas yang berbeda satu sama lain. Kas merupakan aktiva terlancar, dan piutang lebih likuid dibandingkan dengan persediaan.
Apa pun alasannya, namun dapat dikatakan bahwa hampir keseluruhan arus kas masuk dan arus kas keluar tidak sinkron satu sama lain. Sekalipun demikian. pada umumnya arus kas keluar dapat lebih mudah ditentukan. karena hal tersebut merupakan kebijaksanaan atau kewajiban perusahaan sendiri yang harus dipenuhi. Misalnya dalam pembelian yang dilakukan secara kredit maka saat pembayarannya relatif sudah dapat dipastikan sebelumnya. Akan tetapi tidak demikian halnya dengan aktiva lancar, karena untuk memprediksi secara tepat kapan aktiva lancar (selain kas dan surat berharga) akan menjadi uang tunai adalah suatu hal yang cukup sulit. Hal mi disebabkan karena faktor tersebut selain ditentukan oleh perusahaan sendiri juga ditentukan oleh pihak di luar perusahaan yang dalam hal ini adalah para langganan perusahaan.
Contoh :
Dan posisi aktiva lancar dan utang lancar perusahaan “Batu Lante” yang disajikan dalam Tabel 7. 1. maka mungkin dapat timbul situasi-situasi berikut ini:
Keseluruhan utang dagang. ditambah dengan Rp 20.000,00 notes payable dan Rp 10.000,00 utang-utang jangka pendek lainnya. akan jatuh tempo dalam waktu yang sangat dekat sekali. Dengan demikian, waktu atau jatuh tempo utang lancar sejumlah Rp 90.000,00 sudah diketahui dengan pasti. Pada saat ini perusahaan hanya memiliki sejumlah Rp 50.000,00 dalam bentuk kas dan Rp 20.000,00 dalam bentuk surat-surat berharga jangka pendek yang segera dapat diuangkan, sehingga keseluruhannya berjumlah Rp 70.000,00. Kekurangan sebesar Rp 20.000,00 dapat diperoleh dari pengumpulan piutang ataupun penjualan persediaan baik secara memastikan kapan piutang tersebut akan terkumpulkan ataupun penjualan dan penagihan hasil penjualan persediaan akan terkumpul. Tingkat ketidakpastian pengumpulan piutang dan penjualan tunai persediaan juga berbeda, dalam hal ini ketidakpastian pengumpulan piutang lebih besar dibandingkan dengan penjualan persediaan secara tunai. Demikian pula halnya dengan penjualan persediaan secara kredit, karena sekalipun sudah ditentukan batas waktu pembayaran atas kredit yang diberikan, tetapi sangat sering terjadi para langganan tidak tepat atau menunda saat pembayaran utang-utang tersebut. Jadi arus kas masuk yang dihubungkan dengan penjualan, tidak pasti selalu terjadi pada saat yang sudah ditetapkan dalam persyaratan-persyaratan kredit.
Kalau di atas sudah dikatakan bahwa net working capital adalah merupakan selisih antara aktiva lancar dengan utang lancar maka hal tersebut dapat pula dinyatakan dengan suatu cara lain yaitu “Net working capital adalah bagian dan aktiva lancar yang dibiayai modal jangka panjang”.
Defenisi kedua ini akan lebih jelas lagi kalau diilustrasikan dalam bentuk neraca khusus sebagai berikut:









Gambar di atas memperlihatkan jumlah aktiva lancar sebesar Rp 270.000,00 dan aktiva tetap sebesar Rp 430.000,00 sehingga total aktiva menjadi Rp 700.000,00. Di samping itu juga diperlihatkan jumlah utang lancar sebesar Rp 160.000,00 utang jangka panjang Rp 240.000,00 (Rp 400.000,00 — Rp 160.000,00) dan modal sendiri sebesar Rp 300.000,00 (Rp 700.000,00 — Rp 400.000,00).
Utang jangka panjang dan modal sendiri merupakan modal jangka panjang perusahaan yaitu Rp 540.000,00. Bagian dan aktiva lancar yang dibiayai oleh modal jangka panjang adalah sebesar Rp 110.000,00 (Rp 270.000,00 — Rp 160.000,00) dan selisih ini diberi label “net working capital”.
Analisa terhadap Gambar 7.1. diharapkan akan dapat memberikan pengertian yang lebih jelas kepada para pembaca tentang mengapa net working capital dapat dikatakan sebagai bagian dan aktiva lancar yang dibiayai dengan modal jangka panjang. Kegunaan dan defenisi yang kedua ini akan nampak lebih jelas dalam bagian-bagian terakhir dari makalah ini.
Trade-off Antara Profitabilitas dan Risiko
Trade-off antara profitabilitas dan risiko yang dihadapi oleh perusahaan akan selalu timbul dari saat ke saat. Dalam konteks ini profitabilitas diukur dengan jumlah keuntungan, sementara risiko diukur dengan probabilitas suatu perusahaan untuk berada dalam keadaan “technically insolvent” (ketidakmampuan membayar kewajiban-kewajiban/utang-utang pada saat jatuh tempo).
Keuntungan perusahaan dapat ditingkatkan dengan dua cara: meningkatkan penjualan (baik volume maupun harga jual) dan menekan biaya-biaya. Kedua cara tersebut akan dibicarakan kemudian, dengan tekanan utama pada peningkatan penjualan dengan cara meningkatkan volume penjualan. Biaya dapat ditekan dengan membayar lebih sedikit untuk suatu item atau pelayanan yang diterima ataupun dengan menggunakan peralatan-peralatan yang sudah ada secara lebih efisien. Setiap pengurangan biaya pasti akan meningkatkan keuntungan perusahaan. Di samping itu, keuntungan ini juga bisa ditingkatkan dengan jalan menginvestasikan pada aktiva yang lebih menguntungkan, yang dalam hal ini adalah aktiva tetap yang mampu menghasilkan produk dan penjualan yang lebih tinggi. Pemahaman atas bagaimana meningkat dan menurunnya tingkat keuntungan merupakan suatu hal yang sangat penting untuk dapat dimengertinya ide tentang kaitan (trade-off) antara profitabilitas dengan risiko.
Risiko untuk berada dalam keadaan “technically insolvent” pada umumnya diukur dengan net working capital yang akan digunakan adalah atas dasar net working capital.
Diasumsikan bahwa semakin besar jumlah net working capital yang dimiliki oleh suatu perusahaan maka semakin kecil risiko yang dihadapinya. Dengan perkataan lain, semakin besar jumlah net working capital semakin likuid keadaan perusahaan dan oleh karena itu akan semakin kecil pula risiko untuk berada dalam keadaan technical insolvency. Sebaliknya Semakin kecil net working capital (likuiditas) akan semakin besar risiko yang dihadapi oleh perusahaan. Dengan demikian sudah jelas hubungan antara likuiditas, net working capital dan risiko: bahwa semakin besar likuiditas atau net working capital akan semakin kecil risiko yang dihadapi, demikian pula sebaliknya.
Sebelum membicarakan masalah trade-off ini lebih lanjut, maka diperlukan adanya beberapa asumsi.
Asumsi Dasar
Dalam membicarakan trade-off antara profitabilitas dengan risiko, maka diperlukan beberapa asumsi, yaitu:
Asumsi pertama berkenaan dengan jenis perusahaan yang akan dianalisa, yang kedua sehubungan dengan perbedaan kemampuan aktiva dalam menghasilkan (differences in the earning power of assets) dan yang terakhir tentang biaya-biaya dan berbagai alterative pembelanjaan (financing) yang akan digunakan.
Masing-masing asumsi tersebut akan dibicarakan secara terpisah di bawah ini.
Jenis Perusahaan
Perusahaan yang akan dibicarakan di sini adalah perusahaan industri (manufacturing firm), dan bukannya perusahaan dagang ataupun perusahaan jasa. karena sebagian besar prinsip-prinsip dalam manajemen pembelanjaan perusahaan digali dari perusahaan yang berbentuk industri.
Kemampuan Aktiva Dalam Memperoleh Hasil
Perusahaan-perusahaan industri diasumsikan akan memperoleh hasil yang lebih besar dari aktiva tetap dibandingkan dengan aktiva lancar yang dimilikinya, sehingga dapat dikatakan bahwa aktiva tetap menggambarkan aktiva yang benar-benar dapat memberikan hasil kepada perusahaan (the true earning assets). Pandangan ini sejalan dengan perbedaan kepentingan sebagian besar modal perusahaan tertanam dalam aktiva lancar, agar perusahaan tidak mengalami kesukaran-kesukaran dalam membayar semua kewajiban-kewajiban yang sudah jatuh tempo. Di lain pihak, profitabilitas menginginkan agar sebagian besar dana perusahaan dioperasikan, agar dapat diperoleh hasil yang lebih tinggi. Pabrik-pabrik, mesin, gedung, dan aktiva yang lain memungkinkan perusahaan untuk menghasilkan barang-barang jadi, yang pada akhirnya akan dijual pada harga yang dapat memberikan keuntungan bagi perusahaan. Aktiva lancar, kecuali surat-surat berharga jangka pendek, pada umumnya bukanlah aktiva yang menghasilkan (are not earning assets) tetapi lebih merupakan ‘alat bantu’ yang akan memungkinkan perusahaan untuk melakukan penjualan dan memberikan kredit (melakukan penjualan secara kredit). Aktiva lancar mutlak diperlukan agar perusahaan dapat beroperasi secara efektif tetapi tanpa aktiva tetap yang dapat menghasilkan barang jadi yang pada akhirnya melalui proses penjualan akan berubah menjadi uang kas, surat-surat berharga, piutang, ataupun persediaan, maka perusahaan tidak akan dapat menjalankan operasinya. Seandainya perusahaan dapat memperoleh hasil yang lebih besar dengan jalan membeli persediaan dibandingkan dengan memproduksi sendiri, ataupun dapat memperoleh hasil yang lebih besar dengan jalan menginvestasikan modal dalam surat-surat berharga jangka pendek maka perusahaan tersebut seharusnya tidak menjadi perusahaan industri. Dengan perkataan lain, apabila perusahaan tidak dapat memperoleh hasil yang lebih besar dari modal yang diinvestasikan dalam aktiva tetap dibandingkan dengan aktiva lancarnya, maka sebaiknya perusahaan menjual aktiva-aktiva tetap yang dimiliki dan dengan hasil penjualan tersebut dipergunakan untuk membeli atau melakukan investasi dalam aktiva lancar. Dengan demikian, dalam pembahasan nanti diasumsikan bahwa perusahaan dapat memperoleh hasil lebih banyak dan aktiva tetap dibandingkan dengan aktiva lancar yang dimilikinya.
Biaya Modal
Perusahaan dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan modalnya dalam dua bentuk: modal jangka pendek dan modal jangka panjang. Utang-utang lancar adalah merupakan sumber modal jangka pendek, sedangkan pinjaman jangka panjang dan modal sendiri adalah sumber-sumber modal yang panjang. Utang lancar yang terdiri dari utang dagang, utang surat-surat berharga (notes payable). Accruals dan lain-lainnya pada umumnya merupakan sumber-sumber modal yang murah biayanya. biaya atau bunga yang dinyatakan secara jelas dan tegas. Utang dagang dan accrual merupakan sumber-sumber modal jangka pendek yang jauh lebih murah dibandingkan dengan notes payable, karena kedua sumber modal tersebut biasanya tidak dikenakan beban bunga. Berdasarkan pengalaman dalam kehidupan sehari-hari, maka dapat dikatakan bahwa modal jangka pendek lebih murah dibandingkan dengan modal jangka panjang. Apabila tingkat bunga pada masa-masa yang akan datang diperkirakan akan meningkat, maka para kreditur akan mengenakan beban bunga yang lebih tinggi lagi untuk pinjaman-pinjaman jangka panjang. Di samping hal tersebut di atas, tingginya tingkat bunga atas pinjaman jangka panjang dikaitkan dengan risiko pengembalian pinjaman pokok. Semakin lama jangka waktu suatu pinjaman, semakin besar ketidakpastian untuk dapat dikembalikannya pinjaman pokok oleh pihak peminjam. Oleh karena itu sebagai kompensasi atas hal tersebut maka untuk pinjaman jangka panjang dikenakan bunga yang lebih tinggi daripada bunga pinjaman jangka pendek. Dengan adanya penjelasan di atas, maka dalam pembahasan-pembahasan selanjutnya diasumsikan bahwa modal jangka pendek lebih murah dibandingkan dengan modal jangka panjang. Pandangan ini kiranya akan dapat lebih mudah diterima apabila kita kembali sejenak untuk mengingat bahwa komponen-komponen utang lancar tertentu (utang dagang dan accrual) biasanya tidak dikenakan beban bunga.
Analisa Profitabilitas dan Risiko
Apabila perusahaan bermaksud untuk meningkatkan keuntungan yang diperolehnya maka peningkatan keuntungan tersebut akan diikuti pula oleh risiko yang semakin besar. Demikian pula kalau perusahaan ingin melakukan yang sebaliknya, menurunkan risiko, maka penurunan tingkat risiko ini akan diikuti oleh menurunnya tingkat profitabilitas. Pemilihan di antara kedua alternatif tersebut dapat dilakukan dengan beberapa cara, tetapi dalam pembahasan ini ditekankan pada perubahan komposisi aktiva perusahaan atau jelasnya, trade-off tersebut akan diukur dengan melihat jumlah net working capital yang tersedia di dalam perusahaan.
Sebelum membicarakan teori working capital managemen secara menyeluruh, maka terlebih dahulu akan dibahas pengaruh perubahan aktiva lancar dan pasiva lancar atas trade-off antara profitabilitas dan risiko perusahaan.
Aktiva lancar
Pengaruh dari tingkat aktiva lancar atas trade-off antara profitabilitas ratio antara aktiva lancar atas total aktiva. Persentase yang diperoleh akan menunjukkan berapa bagian dan total aktiva yang tertanam dalam pos-pos yang lancar.
pengaruh dari peningkatan aktiva lancar
Bilamana ratio aktiva lancar atas total aktiva meningkat maka baik profitabilitas maupun risiko yang dihadapi akan menurun. Menurunnya profitabilitas disebabkan karena, seperti sudah dikemukakan di atas, aktiva lancar menghasilkan lebih sedikit dibandingkan dengan aktiva tetap. Risiko “technical insolvency” menurun karena (asumsikan utang lancar tidak berubah) peningkatan jumlah aktiva lancar akan semakin memperbesar net working capital.
Pengaruh dari penurunan aktiva lancar
Penurunan ratio aktiva lancar atas total aktiva akan mengakibatkan meningkatnya baik profitabilitas maupun risiko yang dihadapi oleh perusahaan. Peningkatan profitabilitas ini disebabkan karena lebih banyak modal yang diinvestasikan dalam aktiva tetap yang dapat memberikan profitabilitas yang lebih besar dibandingkan dengan aktiva lancar. Akan tetapi, dengan meningkatnya profitabilitas ini juga akan diikuti oleh meningkatnya risiko karena jumlah net working capital akan menurun dengan semakin kecilnya jumlah aktiva lancar. Pengaruh penurunan ini berbanding terbalik dengan pengaruh dan peningkatan ratio aktiva lancar atas total aktiva perusahaan.
Utang lancar
Pengaruh dari perubahan utang lancar atas trade-off antara profitabilitas dan risiko dapat pula diilustrasikan dengan menggunakan suatu ratio yang sederhana yang dalam hal ini adalah ratio antara utang lancar dengan total aktiva. Ratio ini menunjukkan berapa besar (dalam persentase) total aktiva yang dibiayai oleh modal jangka pendek atau utang lancar.
Pengaruh dari peningkatan utang lancar
Dengan meningkatnya jumlah utang lancar maka peningkatan ini akan memperbesar ratio utang lancar atas total aktiva. Adapun pengaruh dan semakin besarnya ratio utang lancar ini adalah meningkatnya profitabilitas, akan tetapi demikian pula halnya dengan risiko. Meningkatnya profitabilitas disebabkan karena menurunnya biaya-biaya yang dikaitkan dengan penggunaan modal jangka pendek yang semakin sedikit dibandingkan dengan jumlah modal jangka panjang. Kalau diasumsikan bahwa jumlah aktiva lancar tidak berubah, maka dengan meningkatnya utang lancar berarti jumlah net working capital akan menurun, di mana hal ini berarti meningkatnya risiko yang dihadapi oleh perusahaan.  Menurunnya tingkat profitabilitas dan risiko yang dihadapi oleh perusahaan. Menurunnya tingkat profitabilitas disebabkan karena perusahaan menggunakan lebih banyak modal yang mempunyai biaya yang lebih tinggi (modal jangka panjang) dibandingkan dengan modal jangka pendek yang biayanya lebih murah. Namun demikian, penurunan profitabilitas ini akan diikuti pula oleh menurunnya risiko yang dihadapi oleh perusahaan karena dengan semakin kecilnya utang lancar berarti net working capital akan semakin besar.
Penentuan Komposisi Pembelanjaan
Salah-satu dari keputusan yang paling penting sehubungan dengan aktiva lancar dan utang lancar adalah, bagaimana utang lancar akan digunakan untuk membiayai aktiva lancar. Ada sejumlah pendekatan yang dapat digunakan dalam menentukan bagaimana pengaturan komposisi pembelanjaan perusahaan. Salah-satu faktor penting yang harus selalu diingat adalah bahwa jumlah pembelanjaan jangka pendek (utang lancar) adalah terbatas. Adapun faktor-faktor yang membatasi jumlah modal jangka pendek itu adalah:
    jumlah utang dagang dibatasi oleh pembelian bahan-bahan secara kredit.
    jumlab biaya yang masih harus dibayar (accrual), dan
    jumlah pinjaman yang dianggap pantas oleh para kreditur.
Para kreditur modal jangka pendek meminjamkan uangnya “hanya’ apabila mereka merasa yakin bahwa uang yang dipinjamkan tersebut akan digunakan untuk membiayai kebutuhan-kebutuhan jangka pendek dan bukannya kebutuhan jangka panjang.
Kebutuhan pembelanjaan perusahaan dapat dibagi ke dalam dua kelompok, yaitu:
    kebutuhan-kebutuhan yang sifatnya permanen, dan
    kebutuhan-kebutuhan yang sifatnya berubah-ubah atau kebutuhan modal yang bersifat variabel.
Kebutuhan-kebutuhan permanen terdiri dari total aktiva tetap dan bagian dari aktiva lancar yang harus selalu dipertahankan (persediaan besi) dalam perusahaan. Dengan demikian jumlah ini tidak berubah-ubah (asumsikan tidak ada pembelian ataupun penjualan aktiva tetap) selama satu periode.
Ada beberapa cara yang dapat dipergunakan dalam menentukan komposisi pembelanjaan perusahaan, akan tetapi dalam kesempatan ini akan dibicarakan tiga pendekatan utama, yaitu:
    pendekatan agresif
    pendekatan konservatif
    pendekatan rata-rata (pendekatan mi merupakan pendekatan titik tengah antara pendekatan agresif dan pendekatan konservatif).
1.      Pendekatan Agresif
Menurut konsep pendekatan agresif, kebutuhan modal jangka pendek harus dibiayai modal jangka panjang dan modal jangka pendek dan kebutuhan yang bersifat permanen akan dibiayai dengan modal jangka panjang.
2.      Pendekatan Konservatif
Pendekatan yang konservatif mengatakan bahwa seluruh proyeksi kebutuhan modal perusahaan harus dibiayai dengan modal jangka panjang sedangkan modal jangka pendek akan dipergunakan hanya apabila timbul keadaan yang darurat atau karena adanya arus kas keluar (cash outflows) yang tidak terduga-duga sebelumnya. Cukup sulit untuk dibayangkan bagaimana caranya mengimplementasikan pendekatan ini karena sumber-sumber pembelanjaan jangka pendek seperti misalnya utang dagang dan accruals adalah suatu hal yang normal yang sulit untuk dihindarkan dalam pelaksanaan aktivitas perusahaan sehari-hari.
3.      Pendekatan rata-rata
Sebagian besar perusahaan menggunakan perencanaan pembelanjaan yang terletak pada suatu titik di antara kedua pendekatan yang sudah dijelaskan di atas. Sekalipun di sini dipergunakan istilah pendekatan rata-rata, tetapi bisa saja perusahaan lebih mendekati ke arah salah-satu dari kedua pendekatan tersebut, tergantung pada preferensi risiko dan masing-masing perusahaan. Untuk maksud pembahasan dalam makalah ini maka diasumsikan bahwa titik tersebut terletak tepat di antara kebutuhan modal yang terendah dan yang tertinggi.

C.    PENUTUP
1.      Kesimpulan
Makalah ini membahas tentang manajemen modal kerja dengan melihat pada hubungan antara aktiva lancar dengan utang lancar. Net working capital, yang didefinisikan sebagai “selisih antara aktiva lancar dengan utang lancar” ataupun sebagai “bagian dari aktiva lancar yang dibiayai oleh modal jangka panjang”, merupakan inti pembahasan dalam manajemen modal kerja. Jumlah net working capital yang sebaiknya bagi suatu perusahaan sangat tergantung pada pola arus kas atau cash flows yang dimilikinya.
Net working capital mi seringkali digunakan untuk mengukur risiko “technical insolvency” (ketidakmampuan perusahaan untuk membayar kewajiban-kewajiban yang segera jatuh tempo). Semakin besar net working capital, semakin likuid keadaan suatu perusahaan dan semakin kecil kemungkinan perusahaan untuk tidak dapat memenuhi kewajiban-kewajiban yang segera jatuh tempo.
Dalam menilai trade-off antara profitabilitas-risiko sehubungan dengan tingkat net working capital digunakan tiga asumsi dasar, yaitu:
    Pembahasan yang dilakukan berhubungan dengan perusahaan industri.
    Aktiva lancar kurang menguntungkan atau tidak memberikan hasil sebesar aktiva tetap.
    Modal jangka pendek lebih murah dibandingkan dengan modal jangka panjang.
Semakin besar ratio aktiva lancar terhadap total aktiva, semakin kecil profitabilitas yang diperoleh, demikian pula dengan risiko yang dihadapi. Kebalikan dari hal ini, ratio aktiva lancar terhadap total aktiva yang semakin kecil akan meningkatkan profitabilitas dan juga risiko yang dihadapi. Semakin besar ratio utang lancar terhadap total aktiva, semakin besar keuntungan atau profitabilitas yang diperoleh, akan tetapi risiko yang dihadapi pun semakin besar demikian pula sebaliknya. Trade-off antara profitabilitas dan risiko ini harus selalu dipertimbangkan dalam menilai net working capital suatu perusahaan.
Ada sejumlah pendekatan yang dapat digunakan dalam menentukan komposisi pembelanjaan yang tepat. Pendekatan agresif adalah merupakan yang “high profita-high risk” (pembelanjaan yang menghasilkan keuntungan yang tinggi tetapi disertai dengan risiko yang tinggi pula). Menurut pendekatan ini kebutuhan-kebutuhan yang bersifat permanen dibiayai dengan modal jangka panjang, sedangkan kebutuhan variabel dipenuhi dengan modal jangka pendek.
Pendekatan konservatif adalah merupakan pembelanjaan yang “low profit-low risk” (keuntungan rendah-risiko rendah). Dalam pendekatan ini seluruh kebutuhan dana, baik yang permanen maupun yang variabel dipenuhi dengan modal jangka panjang. Modal jangka pendek hanya digunakan dalam keadaan yang memaksa atau darurat saja.
Sebagian besar perusahaan menggunakan “pendekatan rata-rata” dan kedua pendekatan tersebut di atas di mana sebagian dan kebutuhan variabel dipenuhi dengan modal jangka panjang. Pendekatan rata-rata ini terletak di antara pendekatan agresif yang “high profit-high risk” dengan pendekatan konservatif yang “low profit-low risk”.
2.      Saran
Bagi Dosen Pembimbing disarankan agar selalu mencerminkan rasa tanggungjawab moral yang ikhlas. Artinya, pengayoman yang positif akan mendorong para mahasiswa untuk menggunakan seluruh kapasitas yang dimilikinya dalam memikul tanggungjawab tugas makalah ini.
Bagi rekan-rekan mahasiswa bahwa hasil tugas makalah ini sangat bermanfaat dalam memahami masalah-masalah yang berhubungan dengan Manajemen Modal Kerja. Oleh karena itu kami penulis menyarankan agar dapat melakukan kajian atau melakukan tugas dari berbagai sudut atau faktor.




DAFTAR PUSTAKA


http://rosihan.lecture.ub.ac.id/files/2009/09/4mgtmodalkerja.ppt
http://www.geocities.ws/akuntansi_fe_um/manj_keuangan/mODUL12pendanaanAkltia.doc

Tidak ada komentar:

Posting Komentar